mu qing, bagaimana rasanya membunuh?

Isiltari
4 min readApr 25, 2024

--

Mu Qing, bagaimana rasanya membunuh?

Bapak mati dibunuh negara, karena ia berdosa. Mu Qing tidak pernah lupa. Ia tidak tahu kenapa Bapak dipenggal. Ia hanya tahu kalau bapaknya berdosa, dan sudah sepantasnya dihukum negara.

Mungkin dosa ayah adalah membunuh orang, sebab Ibu selalu menyisir rambut Mu Qing sambil berkata, “Jangan membunuh.”

Jangan membunuh.

“Nyamuk juga tidak boleh?”

Ibu akan tertawa dan berkata, “Kalau berbahaya, serangga tidak apa-apa.”

Mu Qing tidak pernah membunuh.

Meski gemetar, ia mendorong keluar laba-laba besar di kamarnya dengan sapu alih-alih memukulnya dengan sepatu. Ia menanam geranium di sekitar rumah, agar tidak perlu membunuh nyamuk.

Ia pernah melihat kucing tergeletak di tepi jalan, habis dilindas kereta kuda. Ia memeluk kucing itu, berusaha memberinya air, tetapi kucing itu terengah-engah dan mati.

Mu Qing melihat kematian, dan berjanji tidak akan membunuh.

-

Bapak mati dibunuh negara, karena ia berdosa.

Mu Qing tidak pernah rindu, karena ia tidak ingat bagaimana rupa bapaknya.

Tetapi ia akan melihat anak-anak kampung tertawa-tawa dengan bapak mereka, dan dalam hatinya muncul sebuah iri, sebab mengapa ia hanya punya ibunya?

Mu Qing meraih buah ceri merah ranum untuk Ibu. Buah ini, apa Bapak juga suka? Ia akan bertanya-tanya.

Keranjang dipenuhi buah ranum merah. Orang datang, menunjuk dan mengumpat, kata-kata kejam turun seperti hujan. Mu Qing tidak bisa menolak, tidak bisa melawan.

Pencuri, pencuri, gembel, pencuri!

Keluar! KELUAR! Guoshi sibuk, Guoshi tidak ingin bicara dengan kamu.

Tukang curi kesempatan. Sana sapu kuil, kamu tidak berhak belajar.

Tidak apa-apa.

Mu Qing mengagumi Yang Mulia. Jika kata-kata jahat adalah harga yang harus ia bayar untuk ada di sisinya, Mu Qing akan menelan semuanya, se-mu-a-nya.

Yang Mulia memilih Mu Qing, memberinya jalan. Kini tangan kasar Mu Qing tidak lagi hanya menyentuh sapu, ia pula menyentuh kilau sutra dan benang emas pakaian Yang Mulia; ia menyisir rambut halus Yang Mulia, ia menjahit pakaiannya.

Yang Mulia Pangeran Mahkota, dan Mu Qing yang bukan siapa-siapa.

Yang Mulia yang punya segalanya, dan Mu Qing hanya punya ibunya.

Yang Mulia naik menjadi dewa, dan Mu Qing masih dibawanya.

Jika bisa, Mu Qing ingin terus menyisir rambutnya dan memakaikan jubahnya.

-

Tetapi Yang Mulia tidak sempurna, dan dunia berubah seperti cuaca.

“Tidak mungkin menyelamatkan semua orang.”

“Pasti bisa,” Yang Mulia bersikeras.

Yang Mulia bertahan. Mu Qing bertahan.

Yong’an, negeri kering kerontang itu, tidak bisa bertahan.

Yang Mulia turun dari surga. Melakukan segalanya untuk melindungi Xianle, melindungi semuanya. Yang Mulia percaya semuanya akan kembali seperti semula — tetapi Mu Qing tahu semuanya tak lagi sama.

-

Jangan membunuh, suara lembut Ibu terngiang di telinga Mu Qing.

Ibu, yang semakin tua dan hampir buta. Mu Qing gemetar di ladang perang.

Bapak mati dibunuh negara, sebab ia membunuh orang. Bapak adalah pendosa, sebab orang itu berhak hidup, dan Bapak memberinya mati!

Mu Qing menerjang, menebas dan menusuk.

Kian pedangnya berayun, kian keras hatinya, kian hilang gentar di lututnya.

Jangan membunuh —

Mu Qing berdiri di ladang perang, tersengal dan berdarah. Tubuh dan pedangnya gelap direndam merah. Darahnya kah, darah siapa? Ia tidak tahu. Semua terasa sama. Semua merah dan membara.

Apakah ia kini pendosa, pendosa seperti bapaknya? Jangan membunuh kata ibu, sebab semua orang berhak hidup dan kamu bukan Tuhan yang punya kuasa mengambil nyawa —

Mu Qing tertawa terbahak-bahak.

Semua orang berhak bertahan hidup. Sayangnya, dalam perang tidak ada orang, hanya ada serdadu.

Dan Mu Qing ingin HIDUP.

Mu Qing menerjang, menebas dan menusuk. Serdadu Yong’an rontok seperti dedaunan.

Maaf, Ibu — ini untuk Yang Mulia.

Dan aku ingin HIDUP, SEHIDUP-HIDUPNYA.

Usia Mu Qing dua puluh lima. Ia membunuh untuk hidup, untuk hidup sehidup-hidupnya.

-

Xianle runtuh, Xie Lian tak lagi dewa.

Xie Lian, Feng Xin, raja dan ratu. Mu Qing patuh menanggung semuanya. Sebab ia mengerti, sekian lama hidup di istana tak mungkin mengajari mereka hidup sengsara.

Mu Qing bukan lagi pelayan pribadi Pangeran Mahkota, bukan lagi tangan kanan dewa. Sekali lagi ia adalah gembel miskin. Hanya, kali ini, mereka semua sama.

Sisa-sisa kerajaan Xianle, terusir dan terhina.

Tidak apa-apa. Mu Qing ingin terus menemani Yang Mulia.

Tetapi Yang Mulia bukan pusat hidupnya.

“Qing-er, sudah pulang?”

Untuk pertama kalinya, Mu Qing bersyukur Ibu sekarang buta.

Ibu pasti menangis melihat tangan Mu Qing yang penuh luka. Mu Qing tidak suka.

“Ibu,” Mu Qing bicara. “Aku akan berhenti melayani Yang Mulia.”

Mu Qing menyayangi Yang Mulia. Tetapi ia tidak bisa berada di dua dunia.

Tanpa Mu Qing, Yang Mulia akan baik-baik saja — semoga.

Ibu begitu tua dan buta. Tanpa Mu Qing, Ibu tidak bisa-apa-apa.

Jangan membunuh, Mu Qing selalu ingat. Jika Mu Qing bertahan dengan Yang Mulia, ia akan membunuh ibunya.

“Yang Mulia, aku pergi.”

Yang Mulia tersentak, menatapnya seperti menatap iblis. Feng Xin tak jauh berbeda.

Menelan airmata, Mu Qing mengeraskan hatinya. Ia tahu mereka akan membencinya. Ia tahu ia tidak setia.

Hari itu, Mu Qing membunuh sedikit bagian dari hatinya.

-

“Jenderal Xuan Zhen, bagaimana rasanya membunuh?”

Seratus tahun, jutaan pengabdi dan jutaan doa. Gembel miskin tukang sapu kuil kini adalah Dewa Perang Barat Daya.

Bagaimana rasanya membunuh? Mu Qing tidak tahu. Ia ingat bapaknya, ia ingat kucing yang mati dilindas kereta kuda. Ia ingat bagaimana tubuh-tubuh meregang nyawa di ladang perang. Ia ingat kepala-kepala yang jatuh tertebas pedangnya.

Mu Qing, bagaimana rasanya membunuh?

Bagaimana rasanya melihat nyawa melayang dan tahu kau adalah penyebabnya?

Bagaimana rasanya harus membunuh untuk hidup sehidup-hidupnya?

“Biasa saja,” Mu Qing akan berkata. “Biasa saja. Rasanya biasa saja.”

— — — — —

— fin.

--

--

Isiltari
Isiltari

No responses yet